Oleh : Kang Tatang
Bangsa kita sesungguhnya tidak hanya menyimpan sejarah patriotik para pahlawannya dari Teuku Umar di Aceh sampai Kapitan Pattimura di Maluku, pemimpin politik seberani Bung Karno, ahli diplomasi sepiawai Muhammad Hatta, Sutan Syahrir atau Agus Salim, atau pun ahli strategi militer setangguh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Bangsa ini juga sesungguhnya telah melahirkan benih-benih teknokrat justru di usianya yang terbilang muda.
Jika menelisik sejarah teknologi penerbangan, sepuluh tahun sebelum Indonesia merdeka, tepatnya 27 September 1935, sebuah pesawat kayu bermesin ganda dengan kode registrasi Pk-KKH telah mendarat di Bandara Schipol Amsterdam. Pesawat ini dirancang dan dibangun seratus persen di Bandung (Hindia Belanda), didesain oleh Laurens Walraven yang berkebangsaan Belanda, dan dibuat oleh Ahmad Bin Taslim dan kawan-kawan, anak asli Ibu Pertiwi yang tercatat sebagai pembuat pesawat pertama di Nusantara.
Prestasi yang tidak bisa dianggap sepele, karena pesawat terbang pesanan pengusaha Khwou Khe Hien ini tercatat dalam sejarah sebagai pesawat terbang buatan dari Asia yang pertama mendarat di Eropa.
Pasca kemerdekaan, negeri ini juga telah melahirkan orang-orang kreatif seperti Nurtanio Pringgoadisuryo dan Wiweko Soepono, pembuat pesawat glider NWG (Nurtanio Wiweko Glider) pada tahun 1948, disusul rancangan-rancangan berikutnya seperti pesawat Si Kumbang, Si Kunang, dan Gelatik yang berujung pada pendirian LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Pesawat Terbang), LIPNUR (Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) yang kemudian berubah nama menjadi IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio) dan sekarang menjadi PT. Dirgantara indonesia.
Yang tak kalah hebatnya, Indonesia juga telah memiliki sosok pencetus lahirnya helikopter di tanah air. Jika negara Paman Sam mengakui Igor Sikorsky sebagai bapak helikopter Amerika yang sebenarnya adalah kelahiran Rusia, maka untuk Indonesia, tokoh tersebut adalah anak indonesia asli yang sangat patut dijuluki "Bapak Helikopter Indonesia". Mengingat sampai saat ini beliau adalah satu-satunya orang Indonesia yang pernah mendesain, membuat dan menerbangkan helikopter. Uniknya lagi, beliau merancang sendiri throttle collective device, yaitu alat pengganti lengannya yang putus, agar tetap bisa mengemudikan helikopter.
Nama lengkapnya Yum Soemersono, lahir di Soko, Purworejo pada tanggal 10 April 1916. Yum adalah anak desa yang mulai tertarik dengan pesawat terbang ketika sering melihat burung besi itu lalu-lalang di Lapangan Terbang Tidar, Magelang. Yum soemarsono pernah bekerja di sebuah pabrik gula dan kemudian masuk angkatan darat dengan pangkat kapten. Dengan pengetahuan aerodinamika seadanya karena saat itu di Indonesia, negara yang baru merdeka, masih minim akan teknologi penerbangan, Yum dan teman-temannya merancang helikopter pertamanya, RI-H pada tahun 1948.
RI-H memiliki panjang 5,75 m di tenagai mesin BMW 500 cc, 24 pk, dan kecepatan putaran 3000 RPM. Bahan rotornya adalah duralminium, diameter rotor 6,75 m dengan profil NACA 23012 pada chord 20 cm. Sementara baling-baling ekornya berdiameter 85 cm.
Menurut perhitungan, "capung besi" ini mampu menjelajah dengan kecepatan 50 km/jam dan memiliki kecepatan naik 1,5 m per detik. Sayangnya, belum sempat diterbangkan, helikopter pertama buatan anak Indonesia ini sudah dihancurkan oleh pesawat pembom Belanda, P-40 Warhawk pada Agresi Militer Belanda II tanggal 19 desember 1948 di daerah pembuatannya, yakni di Desa Tarikngarum, sebelah timur Gunung Lawu, Jawa Timur.
Tidak putus asa, pada tahun 1950, ia dan para personil angkatan udara kala itu menguji coba helikopternya yang kedua di Lapangan Terbang Sekip, Yogyakarta. Helikopter yang diberi kode YSH (Yum, Soeharto, Hatmojoyo) itu sukses melayang setinggi 10 cm. Lagi-lagi naas, YSH mengalami kerusakan akibat jatuh dari truk saat diangkut ke Lapangan Kalijati, Yogyakarta. Heli ini sempat dibangun kembali namun Karno Barkah yang saat itu menjabat sebagai komandan LAPIP, mengusulkan agar dibangun helikopter yang lebih besar. Helikopter ke-tiga pun dibangun dan diberi nama Soemarkopter. Heli ini mulai dibuat pada tahun 1953 dan kemudian dirampungkan pada tahun 1954. Ketika diuji terbang, Soemarkopter berhasil terangkat dari permukaan tanah setinggi kurang lebih 3 meter dan sejauh 50 meter. Saat itu Leonard Parish, instruktur terbang pabrik Hiller Helicopter Amerika yang diberi tugas melatih putra-putra indonesia menerbangkan helikopter, justru terkagum-kagum melihat helikopter rancangan Yum yang telah menggunakan rotor stabilizer (baling-baling ekor), padahal di Amerika sendiri rotor stabilizer masih dalam tahap uji coba. Parish bahkan menawarkan diri sebagai pilot uji coba.
Dan pada tanggal 10 april 1954, Soermarkopter yang bertenaga 60 pk dapat dibuat terangkat dari permukaan tanah setinggi 1 kaki. Usut punya usut, pengetahuan tentang rotor stabilizer ini ini diperoleh dari ketajaman intuisi Yum saat mempelajari lembaran stensilan karangan Ir. Oyen tahun 1940 tentang aerodinamika dan sebuah gambar dari majalah popular science bekas pada tahun 1939.
Ini jelas sebuah prestasi yang luar biasa untuk negara muda Indonesia saat itu. Berkat prestasi ini pada tahun 1951 Yum diberi beasiswa dari Hiller untuk belajar terbang di Amerika. Saat itu, Yum sedang belajar terbang pada Wiweko Soepono, instruktur pertama lulusan Hiller Helicopter, palo alto. Pada saat itu menjabat kepala seksi bengkel Husein Sastranegara, Bandung. Kesempatan ini tidak disia-siakan. Selain belajar menerbangkan helikopter, Yum juga mengambil kursus desain helikopter di Stanford University. Di sini Yum juga menunjukkan kepiawaian perhitungan desain rotor blade-nya, yang cuma berbeda satu inci dari rotor blade rancangan Wayne Wiesner, kepala biro desain Pabrik Hiller. Yum pun kembali ke tanah air dengan mengantongi lisensi rating penerbang helikopter Hiller, Bell, Sikorsky, dan Mi-4 pada tahun 1955. Akan tetapi amat disayangkan bahwa Soemarkopter yang ia titip di LAPIP Bandung, telah hilang tak berbekas. Akhirnya Yum membangun lagi helicopter berikutnya. Kecelakaan menimpa Yum saat menguji coba helikopternya yang ke-empat ini pada bulan maret 1964. Setelah tujuh kali berusaha menerbangkan helikopter yang oleh Bung Karno dinamakan kepik ini, salah satu baling-balingnya terlepas dan terlempar menebas lengan kiri Yum hingga putus. Seorang asistennya bernama Dali bahkan meninggal.
Lengan kiri yang putus tidak membuat Yum berhenti terbang. Ia merancang throttle collective device, alat pengganti lengan kirinya agar tetap bisa menerbangkan helikopter. Alat ini adalah alat satu-satunya di dunia yang dibuat dan digunakan oleh Yum untuk menerbangkan heli Bell 47J2A dan 47G. Kepik saat diterbangkan di Lanud Husein Sastranegara, Bandung, Yum sempat menjadi pilot helikopter pribadi Presiden Soekarno pada tahun 1963 namun menolak pemberian rumah, tanah dan kendaraan dari Sang Presiden sewaktu lengannya putus.
Dari tahun 1965 sampai tahun 1972 Yum bekerja sebagai pilot penyemprot hama tebu dan kelapa. Ketika berhasil memperbaiki dan menerbangkan kembali helikopter Bell 47-J-2A yang kemudian diberi nama Si Wallet, nama Yum kembali dikenal publik. Pada bulan Juni 1990, Yum diundang ke Paris untuk mendemonstrasikan throttle collective device alias lengan buatannya itu untuk menerbangkan Helikopter BELL 47-G.
Alat ini adalah alat satu-satunya di dunia. Yum Soemarsono adalah pencinta helicopter. Kecintaannya pada helikopter membuat beliau pernah menjual cincin kawin istrinya untuk membiayai pemuatan helikopter pertamanya, RI-H.
Yum Soemarsono, Bapak Helikopter Indonesia ini, meninggal pada tanggal 5 Maret 1999 di Bandung.
Suber : dari seorang mahasiswa Teknik Penerbangan Universitas Nurtanio Bandung
No comments:
Post a Comment
Terima kasih anda telah memberikan komentarnya disini.