Oleh ; Kang Tatang
Sumber ; Kompas.com
Para penumpang pesawat Etihad Airways, nomor penerbangan EY -474 rute Abu Dhabi-Jakarta sedang bersantai usai makan siang pada Rabu (4/5/2016), sekitar 45 menit sebelum mendarat di Bandara Soekarno Hatta.
Sebagian besar dari mereka merupakan jemaah umrah yang hendak kembali ke Tanah Air. Saat itu banyak penumpang yang hendak menunaikan salat ataupun ke toilet. Tanpa disangka, tiba-tiba badan pesawat berguncang hebat. Situasi tenang berubah menjadi kacau.
Begitu kerasnya guncangan, para penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman terlempar ke atap dan mengalami luka-luka. Peristiwa ini terjadi selama lebih kurang 10 menit sebelum pesawat kembali stabil.
Etihad Airways EY-474 rupanya memasuki area turbulensi udara saat melintasi angkasa Indonesia. Turbulensi udara terjadi manakala pesawat memasuki ruangan udara yang memiliki tekanan berbeda-beda.
Perbedaan tekanan ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, misalnya perpindahan udara dari lokasi bersuhu panas ke dingin (atau sebaliknya), adanya aliran udara dengan kecepatan berbeda atau thermal lift di mana ruang udara memiliki suhu lebih panas dari sekeliling sehingga mengalir dari permukaan ke atas.
Turbulensi tingkat parah
Laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang dikutip KompasTekno pada Minggu (5/4/2016) menyebutkan bahwa Etihad Airways EY-474 ketika itu diguncang oleh turbulensi di wilayah udara sekitar pulau Sumatera bagian selatan, di ketinggian 37.000 kaki (11.277 meter)
“Diindikasikan turbulensi tingkat severe/parah ini kombinasi dari gelombang dekat Pegununngan Bukit Barisan di Sumatera bagian selatan dan Awan CB (Cumulonimbus) di sekitar jalur penerbangan EY-474,” tulis BMKG dalam situsnya.
Pantauan satelit cuaca menunjukkan penumpukan uap air akibat gelombang dari gunung yang terdorong secara vertikal. Selain itu, awan CB pada daerah sekitar jalur penerbangan memicu interaksi yang menyebabkan gelombang tersebut pecah pada lapisan atas atmosfer.
Hal ini berujung pada turbulensi yang diperkirakan terjadi pada jalur jelajah Etihad Airways EY-474.
Turbulensi yang dialami oleh Etihad Airways EY-474 termasuk dalam tingkat 3, yakni severe (parah), dari skala intensitas turbulensi yang terdiri dari empat tingkatan.
Dalam turbulensi tingkat 3, pesawat mengalami perubahan ketinggian dan arah yang besar sehingga bisa lepas kendali selama beberapa saat.
Di dalam, penumpang yang memasang sabuk pengaman akan merasakan sensasi terjepit parah, sementara mereka yang tidak memakai seat belt atau sedang berjalan akan terlempar.
Dari jenisnya, turbulensi Etihad Airways EY-474 termasuk kategori Clear Air Turbulence (turbulensi cuaca cerah, CAT) yang sulit dideteksi secara visual maupun oleh radar cuaca.
CAT sering terjadi di area Tropopause, ruang udara antara Troposphere dan Stratosphere yang berada di ketinggian antara 23.000-39.000 kaki (7.000-12.000 meter di atas permukaan laut.
Turbulensi Hong Kong Airlines
Hanya berselang dua hari semenjak peristiwa yang menimpa pesawat Etihad Airways, turbulensi parah kembali terjadi.
Kali ini menimpa pesawat Hong Kong Airlines nomor penerbangan CRX-6704/ HX-6704 pada Sabtu (7/5/2016) dinihari pukul 02.40 WIB di wilayah udara sekitar pulau Kalimantan.
Pesawat itu sedianya akan menuju Hong Kong usai bertolak dari Bali. Namun, usai terkena turbulensi, pilot Tinios Peter memutuskan untuk kembali ke Bandara Ngurah Rai.
Sama dengan Etihad Airways, turbulensi yang dialami Hong Kong Airlines HX-6704 juga termasuk dalam ketegori parah dan dari jenis CAT.
Sebanyak 17 orang dalam penerbangan Hong Kong Airlines HX-6704 dilaporkan mengalami cidera. Sementara, Etihad Airways EY-474 mencatat 31 penumpang dan awak pesawat terluka. Banyak di antara mereka mengalami patah tulang akibat terlempar.
“Kejadian beruntun dari turbulensi tingkat severe ini diindikasikan akibat peningkatan perbedaan kceapatan angin pada level atas pada level tropopause, “ tulis BMKG mengenai dua kejadian di atas.
“Hal ini menyebabkan shear (perbedaan arah dan kecepatan angin) yang besar yang berpotensi pada kejadian turbulensi,” tambah badan meteorologi itu.
Dalam kasus Hong Kong Airlines HX-6704, aktivitas konvektif atau awan CB diduga memberikan kontribusi meningkatnya turbulensi cuaca cerah di dekat lokasi kejadian. Ketika itu awan CB berada di tenggara Pulau Kalimantan.
Peralihan musim
Mengapa dua pesawat Etihad Airways dan Hong Kong Airlines bisa terkena turbulensi parah dalam waktu berdekatan?
Faktor peralihan musim dan cuaca di Indonesia dinilai menjadi salah satu penyebabnya, sebagaimana disampaikan Kepala Sub Bidang Informasi Meteorologi BMKG, Hary Tirto Djatmiko.
“Ini masa transisi, masa peralihan, ada perbedaan suhu uang mencolok antara siang dan malam, maka potensi turbulensi masih akan terus terjadi,” kata Hary seperti dirangkum KompasTekno dari Tribunnews.
Lantaran adanya potensi turbulensi itu, Hary mengatakan BMKG meminta para pilot yang terbang di angkasa Indonesia untuk terus memberikan laporan cuacanya. Pilot dan BMKG bisa saling memberikan informasi mengenai kondisi cuaca terkini.
“Dari regulasi penerbangan, kita sudah memberikan data-data cuaca. Di sisi pilot, kami harapkan bisa melaporkan juga cuaca,” imbuh hari. “Sewajarnya saling crosscheck mengenai kondisi riilnya seperti apa saat terbang.
Di luar dua kasus Etihad Airways dan Hong Kong Airlines, insiden turbulensi pesawat bisa terjadi di mana saja dan tidak hanya di wilayah Indonesia.
Karena itu ada baiknya mengambil langkah pencegahan sederhana untuk menghindari cidera saat turbulensi mendadak, yakni dengan selalu mengenakan sabuk pengaman saat berada di kursi, termasuk ketika sedang tidur.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih anda telah memberikan komentarnya disini.